Gitaris Dewa Budjana tampil mempromosikan album teranyarnya “Zentuary” di Nuart Sculputre Park, di kawasan Setraduta, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (30/11). Di album solo ke-10 ini, Budjana menggaet musisi top dunia seperti pemain drum dan pianis Jack DeJohnette, pemain bas Tony Levin, hingga pemain drum Gary Husband. Khusus di Bandung, ia berduet bersama penyanyi Trie Utami. Kompas/Cornelius Helmy Herlambang

Langit seperti tak mau mencuri keceriaan di Nuart Sculpture Park, di kawasan Setraduta, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (30/11). Turun deras sepanjang siang hingga sore hari, hujan tak tampak lagi. Sorot lampu warna-warni seperti dibiarkan menyiram malam di ”amphitheater” terbuka di halaman belakang Nuart Sculpture Park. Kilaunya mengiring cinta Dewa Budjana memetik dawai saat mempromosikan album terbarunya, ”Zentuary”.

Zentuary berasal dari kata zen dan sanctuary. Keduanya bisa diartikan sebagai pikiran dan tempat yang hening. Di tengah gonjang-ganjing kehidupan, 12 lagu di album baru ini adalah refleksi perjalanan hidup saya. Diharapkan, Zentuary mampu memberi kesejukan bagi semua orang,” kata Budjana.

Bandung menjadi tempat kedua bagi Budjana mempromosikan album solo kesepuluhnya itu. Sebelumnya, di antara dinding kapur di kawasan Tebing Breksi Yogyakarta, Budjana memperkenalkan album yang kini berada di bawah bendera Favoured Nation. Budjana adalah gitaris Asia pertama yang berhasil menembus label milik gitaris legendaris Steve Vai itu.

Membuka pentas dengan lagu ”Masa Kecil” dari album Dawai in Paradise (2011), tubuh Budjana seperti biasa tak banyak tingkah di atas panggung. Memakai baju berkerah tanpa lengan, ia nyaris tak beranjak dari posisinya memainkan empat gitar selama 2,5 jam pertunjukan.

”Bukan tidak mau bergerak, saya memang tidak bisa,” kata Budjana merendah.

Meski demikian, karismanya tak hilang hanya gara-gara minim aksi panggung. Lewat jari jemarinya, dia beraksi dan berinteraksi. Jari-jarinya lincah menari di antara dawai gitar menerjemahkan isi hati dan pikiran Budjana merayu orang untuk bergoyang.

Berdiri sekitar 100 meter di belakang, rayuan melodi gitar Budjana sekali lagi berhasil membuat tubuh Diani Astri (38) bergoyang. Senyuman tipis tak pernah hilang dari wajah guru yoga asal Bandung ini. Dia lebih banyak berdiri menikmati musik Budjana ketimbang duduk manis di kursi empuknya.

Saat lagu ”On The Way Home” dari album Home (2005), contohnya. Diani tetap berdiri saat penonton lainnya duduk. Sembari merentangkan tangan, tubuhnya bergerak riang mengikuti irama. Pandangannya tak lepas menatap panggung melihat Budjana beraksi.

”Budjana selalu membuat hati ini gembira. Sekarang dia melakukan hal yang sama pada saya,” katanya bahagia.

Di sebelah Diani, Nugroho Adi Siswono (37) mencoba lebih tenang. Ia memejamkan mata saat ”Solas PM”, satu lagu di Zentuary, dilantunkan. Kepalanya menengadah ke angkasa. Bagi dia, Budjana memberikan jeda setelah menjalani beragam rutinitas hariannya.

”Ada kegembiraan dan kesedihan mendengarkan karya Budjana. Semuanya seperti memberi inspirasi untuk menjalani hidup ini dengan bahagia,” kata Nugroho.

Kebinekaan melodi

Tingkah polah Diani dan Nugroho jelas senada dengan keinginan Budjana saat menelurkan Zentuary. Dia ingin kembali ke titik awal, menjadi zen, untuk melihat refleksi hidup puluhan tahun sebagai musisi.

Meski tak sedikit kisah haru dalam perjalanan hidupnya, Zentuary berbuah manis. Banyak pemikiran, keprihatinan, dan emosi ditawarkan Budjana kepada banyak orang lewat melodi jazz Zentuary. Mengutip kritikus jazz ternama, Joachim Berendt, jazz adalah bahasa, jazz adalah bentuk komunikasi.

”Contohnya, ketika saya prihatin melihat hancurnya pertemanan akibat perbedaan pendapat di media sosial. Tidak perlu ribut-ribut. Cari saja jalan keluarnya bersama-sama. Hanya perlu niat menyatukan kebinekaan itu menjadi indah,” katanya.

Budjana tidak asal bicara. Dia sudah membuktikannya ketika Zentuary dibuat. Banyak musisi kelas dunia berbeda usia dan latar belakang mau mendengarkan isi hati Budjana. Mereka membaca, menginterpretasi, hingga berdialog untuk menghasilkan karya bersama yang indah.

Gitaris Dewa Budjana tampil mempromosikan album teranyarnya “Zentuary” di Nuart Sculputre Park, di kawasan Setraduta, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (30/11). Di album solo ke-10 ini, Budjana menggaet musisi top dunia seperti pemain drum dan pianis Jack DeJohnette, pemain bas Tony Levin, hingga pemain drum Gary Husband. Khusus di Bandung, ia berduet bersama penyanyi Trie Utami. Kompas/Cornelius Helmy Herlambang
Gitaris Dewa Budjana tampil mempromosikan album teranyarnya “Zentuary” di Nuart Sculputre Park, di kawasan Setraduta, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (30/11). Di album solo ke-10 ini, Budjana menggaet musisi top dunia seperti pemain drum dan pianis Jack DeJohnette, pemain bas Tony Levin, hingga pemain drum Gary Husband. Khusus di Bandung, ia berduet bersama penyanyi Trie Utami.
Kompas/Cornelius Helmy Herlambang

 

”Dalam musik, jarak antara kor mayor dan kor minor saling bertemu menjadi melodi yang harmoni. Saya kembali belajar banyak tentang kehidupan lewat proses-proses seperti ini,” katanya.

Budjana menggambarkan keterlibatan Tony Levin, bassist beraliran progresif rock untuk King Crimson dan Peter Gabriel, dalam album anyarnya kali ini. Betotan basnya memperkaya pukulan drummer legendaris dunia Jack DeJohnette atau tekanan piano dari Gary Husband yang terlibat dalam album milik Quincy Jones, untuk keindahan lagu-lagu di Zentuary.

Atau, simak juga musisi muda penuh talenta yang membantunya pentas di Bandung dan Yogyakarta. Beberapa di antaranya pembetot bas Shadu Rasjidi, penggebuk drum Demas Narawangsa, dan pemain harmonika Rega Dauna.

”Saya banyak belajar dari mereka. Mereka adalah musisi bertalenta tinggi sekaligus punya kerendahan hati mewujudkan karya terbaik melalui Zentuary. Karya yang sangat kaya tanpa sekat perbedaan sehingga bebas dinikmati siapa saja sesuai minat dan perspektifnya masing-masing,” katanya.

Inspirasi

Duduk lesehan di bawah panggung berjarak 50 meter dari Budjana, Karisma Nurhakim (22) juga menikmati hal itu. Malam itu, bersama 30 difabel netra lainnya, dia menjadi tamu istimewa. Budjana mengundang mereka untuk datang dan menikmati sayatan gitarnya.

”Senangnya bukan kepalang. Budjana adalah gitaris terbaik idola saya. Dia banyak menginspirasi saya terus memainkan gitar,” kata gitaris band difabel, Baraya Music, itu.

Karisma bercerita, awalnya tak mudah baginya memainkan gitar dengan keterbatasan penglihatan. Namun, ketika tahu perjuangan Budjana meraih sukses dipenuhi jalan terjal, ia lantas termotivasi.

”Bila Budjana saja bisa, mengapa saya tidak? Mungkin tidak akan sama, tetapi setidaknya harus terus kreatif seperti dia,” kata Karisma.

Salah satu bentuk kreativitas itu ditangkap Karisma saat Budjana memainkan lagu ”Lake Takengon”, satu lagu lainnya di album Zentuary. Bagi Karisma, lagu itu sangat kaya komposisi. Mulai dari unsur etnik, pop, hingga rock, menyatu dalam irama menjadi jazz yang penuh aura misteri.

”Meski kata banyak orang dia tidak banyak bergerak di panggung, Budjana seperti menghampiri saya lewat petikan gitar. Dia ada di samping saya seperti berbisik menceritakan misteri dan keindahan itu,” kata Karisma tersenyum puas.

Cornelius Helmy


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 03 Desember 2016, di halaman 23 dengan judul “KONSER: Kesejukan Tanpa Sekat”