Wahyu Ichwandardi Animator Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo (ELD) 22-07-2016

Lebih dikenal dengan persona bernama ”pinot”, Wahyu Ichwandardi (46) adalah animator dengan karya yang menyihir mata. Dia memboyong keterampilan membuat gambar bergerak secara tradisional kepada para penonton yang akrab dengan internet dan teknologi digital. Kemampuannya pun diakui dunia internasional.

Wahyu kerap memajang video pendek karyanya di medium seperti Vine, Steller, Snapchat, dan Twitter. Medium yang paling banyak dipakai adalah Vine, layanan video singkat yang berdurasi enam detik. Waktu yang pendek tersebut justru menjadi keuntungan baginya untuk menyajikan karya yang bisa berbicara sekaligus memikat.

Ciri khas dari animasi pendek Wahyu adalah penggabungan antara medium kertas dan lingkungan di sekitarnya. Melalui teknik stop motion, animasi tangan darinya seperti hidup dari frame ke frame dan tidak lagi dua dimensi karena berpadu dengan obyek sekitar. Dunia nyata, fantasi, dan benda-benda sekitar bisa saling terhubung dan keluar-masuk secara mengejutkan, bahkan kadang terasa sebagai sihir visual.

Contohnya, animasi yang dibuat awal 2016 yang menggambarkan seekor anak ayam dari selembar kertas di buku yang menyeruput semangkuk mi instan di sebelahnya. Karya lainnya berjudul ”Berjalan di atas genangan air usai hujan” pada Maret 2014 memperlihatkan jari tangan yang melangkah di atas kertas dan diikuti refleksi di air.

Keahliannya dalam medium video singkat juga dilirik untuk mempromosikan sebuah produk. Beberapa karyanya merupakan kerja sama dengan sebuah merek, seperti ponsel pintar dengan fitur fotografi atau iklan produk otomotif.

Peluncuran film Star Wars: The Force Awakens juga dimanfaatkan untuk memamerkan karya animasi yang terinspirasi dari adegan di video promosi film. Wahyu pun tidak alergi untuk memanfaatkan teknologi tanpa meninggalkan ciri khasnya. Hasilnya adalah video singkat yang mengundang decak kagum.

Pengakuan dari internasional pun hadir melalui beberapa penghargaan, seperti pemenang untuk kategori animasi dalam Fast Film Fest tahun 2013 dan masuk dalam nominasi kategori animasi pada Festival Film Tribeca pada tahun yang sama. Pada 2014, kiprahnya menggunakan Vine mendapatkan penghargaan lewat kategori Vineography di ajang Shorty Awards. Dia juga kembali menjadi finalis pada Festival Film Tribeca pada kategori animasi.

Berkat kemampuan animasinya, Wahyu kini tinggal di New York, Amerika Serikat, dan bekerja pada sebuah agensi digital bernama Grape Story. Tidak berhenti di Vine, bapak tiga anak ini juga tengah merambah medium lain, yakni Steller, yang memungkinkan pengguna untuk bercerita dengan teks, gambar, dan video sekaligus. Kreativitasnya terus berkembang.

Medium baru

Karier Wahyu dimulai sebagai salah satu news graphic designer di RCTI pada 1994. Tugasnya adalah menyediakan konten infografis sebagai pendamping paket berita. Pada 2001, dia dipercaya sebagai head of promotion creative service yang melayani unit lebih banyak lagi, tidak hanya redaksi, tetapi juga korporasi.

Tanggung jawabnya terus meningkat setelah dipercaya sebagai art director pada 2004. Dia mengurusi sisi estetika sebuah acara, mulai dari hiasan panggung, kostum, hingga pemilihan lagu pengiring acara. Karier yang terus melesat itu justru membuatnya gamang. Lalu, datang tawaran untuk hijrah dan bekerja pada sebuah stasiun televisi di Kuwait,
yakni Al Watan, pada 2007.

Posisi yang ditawarkan adalah motion graphic designer. Bagi dia, ini bukan promosi, melainkan kesempatan untuk mengasah keterampilannya. Dia juga memperoleh berkah lain, yaitu memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga dan menggali bakat-bakat lain.

”Salah satunya dengan membuat blog mengenai kehidupan orang Indonesia yang tinggal di Kuwait. Itu tidak banyak dilakukan meski sudah banyak yang tinggal di sana,” kata Wahyu saat ditemui di Jakarta, Jumat (22/7).

Secara perlahan, spesialisasi
Wahyu dalam animasi mulai mendapat perhatian, terutama berkat paparan di media sosial. Dia terus mengasah kemampuannya hingga pada 2014 ditawari untuk berpindah sejauh 10.200 kilometer dan bergabung dengan sebuah agensi iklan yang mengkhususkan diri dalam pemasaran menggunakan medium video singkat.

Peluang tidak dilewatkan. Itulah pelajaran singkat yang ditarik dari perbincangan dengan Wahyu mengenai pentingnya memiliki jejaring
dan memanfaatkan media sosial sebagai sarana yang mudah dan murah. Satu lagi, sebagai pembuat konten semestinya tidak terpaku pada satu media saja. Eksplorasi dengan medium baru yang terus bermunculan harus dilakukan karena bisa jadi inilah masa depan.

Salah satu alegori yang dipergunakan adalah tren negara-negara penghasil minyak bumi yang mendorong sektor pariwisata bukan karena cadangan mereka yang akan habis dalam waktu dekat. ”Bagaimana jika tiba-tiba industrinya beralih ke mobil listrik?” ujar Wahyu.

Keluarga Neverland

Sejak awal, Wahyu bersama keluarganya memanfaatkan media sosial untuk memperluas jaringan dan wadah memamerkan karyanya bersama anggota keluarga lainnya. Sang istri, Dita Wistari Yolashasanti, juga memanfaatkannya untuk mempertunjukkan kebolehan dalam kriya. Tidak ketinggalan pula tiga anaknya, yaitu Arwen, Leia, dan Neo, yang juga bisa memamerkan keahlian animasi di tingkat usia dini.

”Itulah seharusnya yang dilakukan dengan internet, berbagi karya dan gagasan yang kreatif,” ujar Wahyu.

Termasuk dengan anak-anaknya yang berusia di bawah 15 tahun, baik Wahyu maupun Dita memperbolehkan mereka untuk bermain dengan media sosial, seperti Facebook dan Instagram, tapi dengan pengawasan yang ketat. Berbeda dengan sebagian orangtua yang memilih untuk menjauhkan anak mereka dengan media sosial yang dianggap membawa pengaruh buruk, Wahyu justru memberikan tujuan bermedia sosial kepada anaknya, yakni memamerkan karya dan memperluas jaringan. Bukan untuk memajang swafoto (selfie) belaka.

Dengan menempatkan diri sejajar dengan anak mereka, Wahyu dan Dita bisa membimbing apa yang menjadi bakat ketiga anaknya. Itulah konsep dari ”Keluarga Neverland”. Konsep ini terinspirasi dari karya JM Barrie tentang sebuah tempat di mana tidak ada orang dewasa atau metafora dari mereka yang terus mempertahankan jiwa kanak-kanak mereka.

Dari kecil anak-anak Wahyu dan Dita diasuh agar bisa diketahui apa yang menjadi hasrat atau kerap disebut passion dan terus dipupuk hingga dewasa. Apabila seorang anak tidak tahu apa jurusan yang ingin diambilnya nanti, dia rentan tersesat saat mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatnya.

Wahyu bersyukur karena apa yang menjadi hasratnya sudah bisa mendatangkan uang. Namun, saat ditanya pertanyaan klasik, perlukah berhenti kerja saat ini untuk memburu passionmereka, Wahyu dengan tegas menolaknya.

Yang perlu dilakukan adalah membagi waktu dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
atau membayar tagihan dan menyiapkan waktu untuk mengembangkan diri. Dan, apabila pada saatnya keterampilan yang dipupuk mendapat perhatian dan kesempatan pun datang, segeralah ambil.

Didit Putra Erlangga Rahardjo


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2016, di halaman 16 dengan judul “Sihir Sang Animator”.