Hati-hati, di negeri ini kata-kata di jagat maya justru lebih berdampak dibandingkan kata-kata di dunia nyata. Sejak diundangkan 21 April 2008 hingga kini, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah menjerat tak kurang dari ratusan orang yang menulis status di media sosial.

Kamis, 23 Juni lalu, Ade Armando ringan dan tenang-tenang saja ketika mendatangi Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dua advokat dan teman-teman yang mendukungnya juga berbagi senyuman.

”Kalau dipanggil penyidik, ya harus datanglah,” kata dosen Universitas Indonesia (UI) yang sekaligus aktivis Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran itu tersenyum. ”Saya malah ingin segera datang agar kasus itu segera selesai. Ini kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atas sebuah status saya setahun silam lho,” tukasnya.

Semua gegara sebuah status di Facebook, media sosial tempat Ade Armando menyampaikan berbagai pendapat dan gagasannya. Mereka yang berteman dengan Ade di Facebook pasti hafal dengan kelugasannya menanggapi beragam isu—tata kelola penyiaran televisi yang sarat monopoli, perlindungan minoritas, pemberantasan korupsi, toleransi, dan juga hak asasi manusia. Meski kritis dan tajam, tentu saja pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi UI itu bukan jenis orang yang gegabah atau asal membuat status di media sosial.

Lebih dari setahun lalu, persisnya 20 Mei 2015, Ade membagi sebuah berita laman tempo.co berjudul ”Menteri Agama Akan Festivalkan Baca Quran Langgam Nusantara” di dinding Facebooknya. Ade mengimbuhkan tautan berita itu dengan komentar ini: ”Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat- ayatNya dibaca dg gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues….” Bisa menemukan mengapa status itu layak dipolisikan?

”Status itu diadukan pelapor pada 23 Mei 2015, tetapi sejak itu saya tidak tahu perkembangan kasusnya. Tiba-tiba sekarang saya menerima surat panggilan untuk menghadap penyidik. Saya diadukan,” ujar Ade menunjukkan surat panggilan bertanggal 17 Juni lalu.

Sepanjang Kamis itu, Ade menjawab 23 pertanyaan penyidik. ”Termasuk pertanyaan apakah Al Quran memang lazim dibacakan dengan berbagai langgam. Saya pun merujuk lagi kepada rencana Menteri Agama untuk membuat festival baca Al Quran langgam Nusantara sebagaimana berita tersebut,” ujar Ade.

 

Mengadili status

Masih ingat kasus Florence S Sihombing, mahasiswi Magister Kenotariatan FH UGM yang menulis omelan tentang Yogyakarta di media sosial Path pada 2014? Pada 31 Maret 2015, Sihombing dianggap terbukti bersalah menghina dan mencemarkan nama baik warga Yogyakarta, dan dijatuhi hukuman penjara 2 bulan dengan masa percobaan 6 bulan.

Karena hukumannya percobaan, Sihombing memang tak pernah masuk jeruji. Tetapi, kesempatannya menjadi notaris lenyap karena pernah divonis bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya enam tahun. Pantaskah kata-kata di media sosial berbuah jeruji, bahkan hingga memupus masa depan?

Sejak diundangkan, Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mirip pasal sapu jagat. Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menyebut pengaturan sumir dalam UU ITE sudah menjerat 178 orang yang diadukan ke polisi karena berkata-kata lewat status media sosial di jagat maya. Damar menyebut, kian lama delik UU ITE kian bias dari tujuan awal pengundangannya.

”Tahun 2014, misalnya, seorang suami yang diadukan melakukan kekerasan dalam rumah tangga balik mengadukan istrinya dengan UU ITE. Si suami meminta barter, akan mencabut aduan UU ITE jika aduan kekerasan dalam rumah tangga dicabut. Pengaduan UU ITE dibuat untuk membungkam kritik dan membuat jera pengkritik, misalnya pengaduan PSSI atas kritik aktivis Save Our Soccer Apung Widadi. Itu gara-gara rumusan UU ITE sumir,” kata Damar.

Sejak 2013, SAFEnet menjadi salah satu motor masyarakat sipil yang menuntut revisi UU ITE, khususnya penghapusan Pasal 27, 28, dan 29, agar tidak disalahgunakan. UU ITE akhirnya direvisi, dan draf revisinya tengah dibahas DPR RI.

”Draf terakhir revisi UU ITE hanya mengurangi masa hukum pasal itu dari enam tahun menjadi empat tahun. Pengurangan masa hukum bisa mencegah adanya akibat hukum berlebihan sebagaimana kasus Florence. Rumusan delik Pasal 27, 28, dan 29 tetap bias dan tetap bisa disalahgunakan untuk memberangus kritik dan ekspresi. Kita masih menunggu hasil pembahasan DPR,” kata Damar.

 

Bijak berstatus

Di tengah UU ITE yang memang bermasalah dalam merumuskan delik-deliknya, bijak dalam membuat status menjadi kunci untuk lolos dari jeratan hukum. Direktur Eksekutif ICT Watch Donny BU menyebut literasi digital menjadi kunci untuk terhindari dari masalah hukum dengan memahami perbedaan efektivitas komunikasi langsung dan status media sosial.

”Status di media sosial adalah bentuk komunikasi yang dimediasi komputer. Status di media sosial tidak bisa menyertakan seluruh elemen nonverbal, seperti intonasi percakapan, juga tidak memperlihatkan senyuman orang yang membuat status. Padahal, dalam dunia nyata kita justru memahami pesan, terutama lewat bahasa nonverbal penyampai pesan. Konteks sebuah status media sosial kerap hilang karena komunikasi yang dimediasi komputer hanya menyisakan 7 persen dari total muatan pesan,” kata Donny.

Ia menyebut prinsip-prinsip praktis bermedia sosial tanpa terjebak jerat hukum. Salah satunya, jika ingin menyampaikan kritik, pengguna media sosial harus memakai bahasa sesederhana mungkin agar tidak menimbulkan tafsir berbeda. Yang kedua, berpikirlah sebelum mengunggah status media sosial. Jadi, jika hati sedang panas dan penuh amarah jangan membuat status apa pun!

”Ingat, internet memiliki keterbatasan dalam mengantar konteks sebuah pernyataan, tetapi internet mudah melarutkan individu dalam kolektivitas dunia maya. Beramai-ramai mengkritik membuat kita menjadi berani, tapi harus waspada agar tidak ikut-ikutan mem-bully netizen yang lain. Hargai pula anonimitas orang lain, jangan mengumbar data pribadi netizen lain di internet agar tidak terjerat kasus hukum,” kata Donny.

Di sisi lain, Ade Armando yakin bias UU ITE harus dilawan dengan mengawal kebebasan berekspresi di jagat maya.

”Saya yakin kriminalisasi ekspresi di internet justru harus dilawan dengan terus menyuarakan kebenaran dan terus melakukan kritik,” kata Ade. Jadi, silakan pilih statusmu.

 

Aryo Wisanggeni G


 

Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 Juli 2016, di halaman 20 dengan judul “Delik Penjerat Kata di Jagat Maya”