Dua perupa Entang Wiharso (Indonesia) dan Sally Smart (Australia) tertaut beragam kesamaan yang membawa mereka dalam percakapan-percakapan. Dua tahun percakapan itu menggulirkan beragam pemikiran, meluruh lalu mewujud dalam karya-karya yang dipamerkan pada pameran ”Conversation: Endless Acts in Human History”.

Sebuah ikan raksasa memenuhi meja kayu, kepalanya yang putih berkilau menyala oleh ”mahkota” warna merah. Sungguh serupa keanggunan ikan koi, si pembawa keberuntungan. Yang mengerikan, tubuh ikan raksasa itu tak lagi daging, hanya menyisakan sederetan duri berkilau keperakan yang memanjang hingga ekor yang terkulai di tepi meja.

Di tiga kursi di sekeliling meja, tiga sosok ”manusia kabel” duduk seperti habis berpesta. Satu dari mereka tak lagi mampu menegakkan badan, terkulai ambruk ke atas meja, seperti kekenyangan gara-gara berpesta. Di ekor si koi, tubuh keempat tak lagi mampu kembali duduk di kursi, kakinya lurus terkulai, menggantung di badan yang luruh di meja kayu.

Karya Entang Wiharso itu, ”Feast Table-Being Guest” (2014) itu benar-benar sebuah meja pesta yang banal menyuguhkan pembantaian. Sang ikan anggun seperti sebuah kesucian yang tak berdaya. Kilaunya kontras dengan tubuh-tubuh ”manusia kabel” penyantap yang serupa robot pembantai, gara-gara colokan-colokan kabel di tubuh mereka.

Di dua sisi dinding ”ruang perjamuan” itu juga memunculkan rupa lain, sebuah proyeksi dari citra bertumpuk-tumpuk bayangan yang berhadapan mengacungkan tangan. Citra dua dimensi itu tak meruang, membuatnya terasakan lebih ”lunak” ketimbang meja perjamuan Entang yang keras, masif, dan meruang.

 

Perjumpaan

Sepuluh tahun silam, dalam perhelatan 2005 The Exquisite Pirate Jogja Biennale, Entang Wiharso yang bermukim di Yogyakarta ”menyelamatkan” karya Sally Smart. Sally, perupa asal Melbourne, Australia, itu menjadi salah satu perupa The Exquisite Pirate, tetapi tak sempat mampir ke Yogyakarta untuk memasang karyanya.

”Saya ketika itu telanjur berada di Amerika dan hanya mengirim sekotak karya berikut instruksi instalasi karya itu ke Yogyakarta. Ternyata, Entang- lah yang kemudian memasang karya saya. Padahal, kami berdua tak pernah bertemu. Kami baru bersua pada 2013 ketika Entang menjalani program seniman mukim di Melbourne,” ujar Smart.

Sally mengenang persuaannya dengan Entang dua tahun lalu. ”Entah bagaimana, seketika saja saya terhubung dengan Entang, bertaut dengan gagasan-gagasannya. Kami seperti serupa dalam banyak hal—cara kami melihat persoalan. Isu-isu yang menjadi narasi karya-karya kami pun serupa—persoalan tubuh, perbatasan, identitas,” tutur Sally.

Beragam perhelatan seni rupa terus mempertemukan Entang dan Sally, menggulirkan percakapan-percakapan lanjutan. Percakapan dan percakapan itulah yang mengawali gagasan pameran bersama keduanya. Entang mengundang Sally mengunjungi Black Goat Studios Inc, bengkel kerja Entang di Yogyakarta. Di sana, Entang menyiapkan bengkel kerja terpisah bagi Sally. .

”Ini impian lama saya, tipikal seniman Indonesia. Dengan keterbatasan infrastruktur seni rupa Indonesia untuk membangun perjumpaan budaya, seniman membuat cara-cara sendiri menjalin hubungan dengan perupa dari berbagai negara,” ujar Entang.

Kedua perupa menggandeng dua kurator—Suwarno Wisetrotomo dan Natalie King—yang menajamkan tema pameran itu: percakapan, laku tanpa henti dalam sejarah manusia. Galeri Canna menyambut tawaran kedua perupa untuk menyelenggarakan pameran itu di Galeri Nasional, Jakarta, 14 Januari-1 Februari.

Kolaborasi Gagasan

Karya-karya kedua perupa dalam pameran ini merentang makna kolaborasi dari kerja kreatif mereka. Di seluruh ruang pamer, tak ada satu pun karya yang dibuat bersama oleh Entang dan Sally. Yang ada adalah presentasi karya masing-masing perupa yang ditata sedemikian rupa untuk saling menggenapi, sebagaimana proyeksi digital ”The Choreography of Cutting (Scissors)” karya Sally menggenapi ”Feast Table-Being Guest” karya Entang itu.

Entang dan Sally sama-sama menyebut proses mereka berdua sebagai kolaborasi gagasan, dan meyakini ”kolaborasi gagasan” itu melampaui pola ”kolaborasi fisik” yang membangun karya-karya bersama. ”Kami berbeda satu sama lain, bahkan memilih materi karya yang berbeda, tetapi saya yakin orang bisa merasakan banyaknya kesamaan di antara karya kami. Karya-karya kami tetap berbeda
satu sama lain, tetapi menyatu,” kata Sally.

Bagi publik Indonesia yang tentu lebih akrab dengan karya-karya Entang, melihat karya Sally memang seperti melihat bentuk feminin dan lembut dari karya-karya Entang. Sally piawai menggunting, membuang, dan merangkai berbagai benda lunak—kain, cetakan foto, kolase, benang, ataupun kanvas. Entang piawai menggunting, membuang, dan merangkai berbagai benda berbahan logam dan resin, membangun karya-karya yang meruang masif.

Kurator pameran Suwarno Wisetrotomo menyebut modus kerja kreatif Entang dan Sally yang sama-sama memotong, menggunting, membuang, memungut, dan menempelkan bukan semata-mata teknis. Pada diri kedua perupa, modus itu sebuah metode kerja yang terstruktur dan terbangun dalam diri mereka, seperti ideologi berkarya yang dilatari beragam pengalaman, trauma, dan keyakinan Entang ataupun Sally.

 

(Aryo Wisanggeni G)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Januari 2016, di halaman 26 dengan judul ”Pameran: Percakapan Entang & Sally”