Dunia Andai Joseph Praba

0
1043

Mimpi adalah pengandaian. Mimpi adalah konstruksi realitas yang belum menyata. Tanpa mimpi sesungguhnya manusia sudah mati. Mimpi menjadi penggerak utama kehidupan….

Mimpi pula yang menjadi bahan bakar utama Joseph Praba (61) dalam melahirkan 86 karya dengan tajuk pameran ”Mata Ekologi” yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta pada 8-17 Oktober 2015. ”Semua ini mimpi saya tentang alam. Tentang lingkungan. Ini angan-angan saya,” kata Joseph yang belajar seni rupa secara otodidak.

Joseph sadar betul bahwa lingkungan sudah sedemikian rusak sehingga manusia sulit untuk dapat hidup secara layak karena telah mematahkan hukum harmoni bersama alam. Manusia menggali lubang dan sekarang berteriak minta tolong karena nyaris terkubur dalam lubang itu. Ironisnya, kerusakan terus berlangsung seolah tak pernah berhenti.

Joseph lelah jika ikut-ikutan melihat kerusakan alam itu dari perspektif minor. Dia ingin menampilkan sisi terang berupa keindahan, keasrian, dan kesegaran alam. Membaca lukisan-lukisan Joseph sama dengan menenggelamkan diri dalam dunia keindahan alam itu. Joseph membangun dunia andai. Seandainya manusia tidak merusak alam, keindahan dalam lukisan Joseph inilah yang akan tersaji.

Keindahan ditampilkan Joseph dalam bentuk lukisan penuh warna dengan gaya abstrak dan semi abstrak. Simaklah lukisan ”Kejora” yang seolah menggambarkan belasan burung-burung berbulu lebat dan mekar beterbangan di antara rimbun pepohonan yang menghijau biru. Ada rasa segar dan damai di sana.

Ada pula ”Harmoni 1” yang menggambarkan sepasang merak bertengger entah di atas dahan atau di batang pohon. Kedua merak itu seolah bercengkerama dalam kedamaian, sementara bunga-bunga berjatuhan menaburi keduanya. Hanya rasa damai yang mampu mendorong burung berbulu indah itu mampu melampiaskan hasratnya.

Emas yang hilang

Uniknya, Joseph memberi aksen kerlap-kerlip warna emas dengan menabur glitter pada belasan dari puluhan lukisannya. Untuk menyebut beberapa di antaranya adalah ”Luhur Pakarti”, ”Sonata Waktu”, ”Swastigita 2”, dan ”Syukur”. Di bawah terpaan lampu pameran, warna emas itu sangat mencolok dan genit mengingatkan pada mata biduan.

Begitulah cara Joseph menempatkan kritiknya atas perusakan alam. Bagi dia, jika gunung emas di Papua tidak buru-buru dibuka untuk orang asing, jika lahan-lahan di Sumatera dan Kalimantan tidak tergesa diseragami kelapa sawit, jika sampah dan limbah tidak dibuang ke laut, yang tersaji saat ini adalah alam bergelimang emas.

Emas dalam arti sesungguhnya. Rakyat Papua hidup sejahtera berkat tembaga dan emas di sana. Rakyat Kalimantan dan Sumatera dapat bernapas segar karena hutan yang menjadi paru-paru dunia masih terjaga. Nelayan hidup kaya karena binatang laut tak pernah surut. ”Emas-emas itu yang selalu saya mimpikan. Semoga masih ada emas tersimpan,” kata Joseph.

Keprihatinan Joseph pada lingkungan telah lama dia rasakan. Setidaknya sejak dia tergerak melawan lewat komunitas Daun Pintu Forum. Dia juga aktif menggelar karya instalasi sembari bermusik. Ia mendalami musik klasik, seni instalasi bunyi dan pertunjukan, serta musik film dan orkestrasi musik.

Kekayaan referensi itu yang antara lain melahirkan karya ”Palaran 1”, ”Palaran 2”, dan ”Gung Binatoro”. Ketiga lukisan itu dihiasi not-not balok yang kalau dibunyikan menghasilkan harmoni gending-gending Jawa. Gending-gending itulah yang turut menginspirasi Joseph dalam berkarya. Kekayaan referensi itu tecermin juga dalam pembukaan pameran yang disertai monolog dan pembacaan puisi.

Selama tiga tahun terakhir, Joseph mengkristalisasi keprihatinannya tentang kerusakan dalam bentuk perenungan yang kemudian melahirkan karya-karya yang dia pamerkan ini. Tajuk ”Mata Ekologi” dia comot dari salah satu lukisannya berjudul sama.

Lukisan tersebut menggambarkan sebuah mata yang terus mengawasi dalam lingkaran berbagai warna. Di bawahnya terimpresi karut-marut warna yang menyimbolkan kesemrawutan. Joseph ingin mengatakan bahwa semua yang dilakukan manusia itu ada yang mengawasi sehingga tidak bisa seenaknya berbuat. Semua ada balasannya.

Lulusan Akademi Musik Indonesia Yogyakarta (sekarang ISI) ini merampungkan lukisan tersebut selama setahun. Sempat mentok dalam tahap penyelesaian. Ia balik lukisan itu dan ditinggal mengerjakan lukisan lain. Pada suatu malam takbiran jelang Lebaran, dia tergerak untuk menyelesaikannya dan hanya butuh waktu 5 menit.

Dari sisi teknis ataupun hasil, karya-karya Joseph sangat layak dikritik. Sebab, banyak karya yang seolah gagal membentuk harmoni sehingga yang muncul hanya deretan atau campuran warna tanpa rasa. Mungkin karena Joseph terjebak dalam teknik sebagaimana dikatakan Mikke Susanto, rekan Joseph, yang menjadikan karyanya tidak selaras dengan tema besar lukisan itu.

(Mohammad Hilmi Faiq)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2015, di halaman 24 dengan judul “Dunia Andai Joseph Praba”