”Blusukan” di Gang Melbourne

0
731

”Blusukan” di Melbourne, Australia, ditawarkan sebagai paket wisata. Ada kejutan menarik di setiap lika-liku gang. Ada risiko tersesat, tetapi semakin tersesat justru akan semakin memikat.

Kami mencoba tur blusukan itu bersama Dinas Pariwisata Victoria dan Indonesia AirAsia X yang mulai membuka rute penerbangan Denpasar-Melbourne beberapa waktu lalu.

”Kalian harus ’tersesat’ agar dapat menikmatinya,” kata Cassandra O’Brien, perwakilan dari Dinas Pariwisata Victoria, kepada rombongan kami yang beranggotakan empat jurnalis dari Indonesia. Kegiatan yang berlangsung sekitar tiga jam itu seluruhnya dilakukan dengan berjalan kaki.

Perjalanan dimulai dari Federation Square, semacam alun-alun kecil yang letaknya sekitar 100 meter dari Sungai Yarra dan biasa digunakan pejalan kaki untuk beristirahat sembari menikmati suasana di pusat kota Melbourne. Lapangan itu letaknya berseberangan dengan Gereja Katedral St Paul dan Stasiun Flinders yang kemegahan bangunannya tetap terjaga meski telah berusia lebih dari satu abad.

Blusukan kami dipandu Danae Flanagan dari pihak pengelola tur yang mereka namai Hidden Secrets Tour tersebut. Perempuan berambut coklat dengan tinggi badan sekitar 180 cm itu pun segera bergegas dengan langkah cepat membawa kami memasuki tangga ke bawah tanah di depan Stasiun Flinders.

Jalur bawah tanah tersebut dibangun tahun 1950 dan menjadi jalan penghubung bagi penumpang kereta yang hendak berpindah jalur. Di dalamnya terdapat sejumlah kios yang antara lain menjalankan bisnis jasa cukur rambut, penjualan buku, dan kios penjual minuman kopi.

Dari bawah tanah, kami kemudian kembali menaiki tangga dan menuju ke sebuah gang yang dihiasi mural. Gang yang beberapa tahun sebelumnya merupakan gang buntu tersebut telah disulap oleh pengelola setempat menjadi akses menuju tempat belanja busana modern.

Perbedaan suasana yang kontras pun langsung terasa tatkala perjalanan menyusuri gang dengan hawa dingin berganti dengan kehangatan suasana di dalam bekas sebuah gedung bank yang telah berubah menjadi pusat perbelanjaan modern, tetapi keaslian bentuk bangunannya tetap dipertahankan.

Kejutan

Banyak kejutan menyenangkan selama blusukan. Mulai dari celah antar-bangunan gedung yang disulap menjadi kafe dengan iringan musik jazz hingga dekorasi-dekorasi indah dari gerai pada berbagai gedung dengan gaya arsitektur Eropa yang terus dirawat keberadaannya.

Gedung tua yang kini digunakan sebagai pusat perbelanjaan antara lain The Block Arcade yang berada di Jalan Collins. Mulai dari pintu masuk hingga sepanjang lorong gedung karya arsitek David C Askew pada tahun 1891 itu, pengunjung disuguhi pemandangan mozaik dari potongan kecil porselen yang tertata rapi membentuk beraneka motif menarik.

Pada atap salah satu gerai yang terletak di pintu masuk gedung itu terdapat lukisan indah bergambar perempuan dan malaikat yang dibuat oleh pelukis Phillip Goatcher pada tahun 1907 atas permintaan perusahaan mesin jahit Singer yang membuka ruang pajangnya di tempat itu. Di bekas gerai Singer yang kini digunakan untuk tempat penjualan pakaian itu terdapat antrean pengunjung yang memanjang hingga ke luar gerai teh dan kue Hopetoun. Mereka mengantre di gerai yang dibuka oleh istri gubernur Victoria pada tahun 1892 itu untuk mendapatkan kesempatan melakukan tradisi minum teh sembari memakan kue pada sore hari. ”Tradisi minum teh merupakan peninggalan koloni Inggris yang masih mereka jalankan hingga saat ini,” tutur Danae.

Selama berjalan kaki menyusuri gang dan memasuki berbagai gedung tua itu, kami juga diajak untuk berinteraksi langsung dengan sejumlah pemilik gerai tersebut. Para pemilik usaha yang disinggahi pun menyambut dengan ramah meski mereka tengah sibuk melayani tamu.

Pada pertengahan perjalanan, kami berkesempatan singgah di gerai penjualan aneka makanan dan minuman cokelat Koko Black yang lantai duanya digunakan untuk tempat menikmati sajian mereka. Secangkir minuman cokelat panas yang bahannya didatangkan dari Belgia wajib dinikmati di tempat ini sembari melepas lelah.

Dari gedung megah yang telah berusia lebih dari seabad itu kami terus melangkahkan kaki menuju gang buntu yang memiliki kejutan di ujungnya. Kejutan itu bernama Bar Americano yang merupakan sebuah bar dengan kapasitas maksimal 10 orang tamu. Tempat nongkrong tersebut sejak awal mulai tetap mempertahankan peraturan larangan memotret ruangan interiornya untuk menjaga keunikan tempat tersebut.

Mendekati dua pertiga perjalanan tur, kami diajak memasuki gedung Nicholas yang dulunya merupakan bangunan kantor pos. Kini, bangunan tersebut digunakan untuk berbagai tempat usaha yang menarik dikunjungi karena bermacam infrastruktur bekas kantor pos yang telah berusia tua itu masih bisa dijumpai dan digunakan.

Di lantai satu gedung karya arsitek Harry Norris yang selesai dibangun pada tahun 1926 tersebut, pengunjung dapat menaiki eskalator yang pertama dipasang di kota itu.

Sebagian dari lantai dua gedung itu digunakan untuk tempat merancang baju kimono serta tempat penjualan barang antik yang dilengkapi dengan usaha jasa meramal nasib dengan melalui pembacaan garis tangan, kartu tarot, ataupun bola kristal.

Untuk menuju lantai dua, pengunjung dapat menggunakan lift tua yang berada dalam semacam kerangkeng besi yang bunyinya bergemeretak ketika digunakan. Hal itu menambah kentalnya suasana klasik di kawasan kota tua di Melbourne itu.

Saat ini terdapat sedikitnya 7.000 bangunan tua yang dilindungi oleh pemerintah setempat. Pemerintah setempat mendukung penuh pelestarian bangunan cagar budaya di Melbourne karena dianggap mampu merefleksikan budaya masyarakat setempat pada masa lampau yang membentuk lanskap kota itu.

OLEH FERGANATA INDRA RIATMOKO


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juni 2015, di halaman 25 dengan judul “Blusukan di Gang Melbourne”.