Gaya Hidup yang Diekspor oleh Inggris

49
3661

Orang Inggris dikenal sebagai peminum teh, sampai-sampai teh menjadi kebutuhan dan gaya hidup sehari-hari. Mereka tidak memiliki kebun teh, tetapi sukses menjadi pengekspor produk teh dan gaya hidup minum teh.

Selain Inggris, masyarakat Jepang dan China juga memiliki tradisi minum teh. Orang Jepang bahkan membanggakan tradisi minum teh mereka sebagai simbol budaya. Sementara masyarakat China memiliki tradisi panjang minum teh, mungkin sekitar 5.000 tahun.

Namun, tampaknya hanya orang Inggris yang berhasil menularkan kebiasaan minum teh sehari-hari mereka ke luar negaranya melalui gaya hidup high tea dan low tea atau disebut juga afternoon tea.

Pembedaan itu berhubungan dengan cara penyajian, bukan kelas sosial. High tea tidak berhubungan dengan kebangsawanan, tetapi cara menghidangkan teh di meja makan setelah makan malam. Sementara low tea disajikan di meja lebih rendah bersama makanan kecil, seperti roti lapis isi, aneka bolu, dan kue-kue kecil. Karena biasanya diminum pada waktu antara makan siang dan makan malam, disebut juga afternoon tea.

Kecanduan teh orang Inggris terbentuk sejak teh diimpor pertama kali dari China. Pengenalan teh pertama kepada publik dilakukan melalui iklan di koran tahun 1658. Saat ini, tiap orang Inggris mengonsumsi sekitar 2 kg teh per tahun. Bandingkan dengan orang Indonesia yang mengonsumsi 0,3 kg per tahun.

Meskipun tidak memiliki kebun teh, Inggris menjadi produsen produk teh sejak 300 tahun yang lalu. Twinings of London atau umum disebut Twinings saja, contohnya. Produsen teh premium yang didirikan Thomas Twining pada tahun 1706 itu kini mengekspor teh ke 115 negara dengan 600 jenis teh, termasuk ke Indonesia yang memiliki 130.000 hektar kebun teh.

Dari Jawa

Menurut Stephen Twining, keturunan kesepuluh Thomas Twining, kepada Kompas, produksi Twinings saat ini 7 miliar kantong teh (teabag), 25 persennya dikonsumsi di Inggris.

Meskipun sudah berusia lebih dari 300 tahun, Twinings terus melakukan riset dan pengembangan. Di kantor pusat di Andover, sekitar 1,5 jam perjalanan mobil dari London, ada 14 master teh. Mereka terus menemukan campuran teh dan sekaligus menjadi pencicip teh. Bryoni Osmond, misalnya, menghadapi sekitar 4.000 cangkir teh tiap minggu.

”Butuh tiga tahun untuk mempelajari rasa teh. Keahlian itu didapat dengan terus-menerus mengulang,” kata Bryoni pada Juli lalu. Di ruang kerjanya berjajar cangkir-cangkir teh. Dia menyendok teh, menyeruput dengan suara keras, lalu meludahkan teh tersebut. Begitu dia ulangi dari cangkir ke cangkir.

Para master teh tersebut juga keliling ke sejumlah negara untuk mencari daun teh terbaik. ”Pada dasarnya Thomas Twining mengembangkan bisnisnya ke arah menyeleksi dan mencampur sendiri teh dari berbagai tempat. Keahlian itu yang kami pertahankan,” kata Stephen di Andover.

Twinings membeli 170 jenis teh, 205 perencah rasa, dan 140 herbal dari 16 negara untuk menghasilkan 600 jenis teh. Sumber teh tersebar dari Amerika Selatan, China, India, Vietnam, Afrika, Sri Lanka, dan Indonesia. Sebanyak 12 persen daun teh Twinings berasal dari Indonesia yang dibeli dari Sumatera dan Jawa. Ada yang dibeli langsung ke perkebunan, ada yang melalui lelang.

Di toko pertama Thomas Twining, di Jalan Strand, London, yang tetap dipertahankan sebagai toko dan tempat berbincang dan belajar tentang teh, teh oolong dari Jawa termasuk salah satu andalan. Stephen menyeduhkan teh yang rasanya tidak terlalu keras itu, kemudian mengajak membandingkan dengan beberapa jenis teh.

Edukasi konsumen

Pertarungan dalam bisnis teh cukup tajam, terutama di Asia yang kelas menengah dan kemampuan konsumsinya tumbuh cepat. Ada banyak merek teh premium di pasar Indonesia, terutama Jakarta, dari dalam dan luar negeri. Bukan hanya teh dengan sejarah panjang, tetapi juga merek baru dengan usia kurang dari 10 tahun.

Ingin tetap memimpin pasar teh premium, dalam Coronation Festival di Taman Istana Buckingham, 11-14 Juli lalu, Twinings memperkenalkan Twinings Signature Blend yang terdiri dari 14 jenis campuran khusus, mulai dari English Morning, Earl Grey, Jubilee untuk memperingati 60 tahun Ratu Elizabeth II bertakhta, High Mountain Green, hingga Sublime Camomile dan Sweet Berry Fusion.

Stephen sepakat, memasuki pasar Asia berarti mengenal budaya dan gaya hidupnya. Bagi Twinings, pasar Asia sangat menjanjikan. China, Thailand, dan Indonesia termasuk pasar terbesar Twinings. ”Sejak masuk ke Indonesia lima tahun lalu, pasar Twinings tumbuh 300 persen,” kata Ancella Stephanie dari Twinings Indonesia di Jakarta.

Mengenal pasar lokal menjadi keharusan. Ketua Dewan Teh Indonesia H Rachmat Badruddin mengatakan, selama beratus tahun masyarakat Indonesia dibiasakan mengonsumsi teh berkualitas rendah. Hal itu tidak lepas dari sejarah kolonial di Tanah Air. Belanda mengekspor hampir semua teh premium Indonesia.

”Teh melati lahir juga karena alasan itu. Awalnya, tambahan bunga melati untuk menguatkan rasa teh yang kualitasnya kurang baik,” tutur Rachmat ketika dihubungi di Bandung pada pertengahan Juli lalu. Hal itu akhirnya membentuk citarasa masyarakat terhadap teh.

Ancella mengakui, edukasi tentang teh premium kepada konsumen menjadi keharusan. Dia optimistis konsumen akan menerima dengan baik. ”Trendafternoon tea menjadi salah satu penyebab meningkatnya antusiasme pada teh premium,” kata Ancella.

Generasi muda juga semakin menerima teh sebagai gaya hidup. ”Sebagai minuman saat bersantai dan menikmati saat self reflection yang menenangkan,” ujarnya.

Optimisme Twinings itu menandai besarnya peluang pasar produk teh premium di Indonesia yang terbuka bagi siapa pun. Belajar dari Twinings, hanya mereka yang konsisten menjaga kualitas dan melakukan inovasi serta memiliki jaringan distribusi dan kemampuan promosi yang baik dapat memanfaatkan peluang itu.

Kompas : Ninuk Mardiana Pambudy